Chat Only
Image

Pajak Karbon sebagai Bukti Pemerintah Indonesia Mengatasi Perubahan Iklim

Pemerintah Indonesia tengah bersiap untuk upaya perbaikan iklim dunia dengan mengurangi dampak emisi karbon dan efek gas rumah kaca.  Melalui Nationally Determined Cotribution (NDC) , pemerintah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Sebagai bentuk dukungan atas upaya tersebut, pemerintah telah mengatur pengenaan pajak karbon yang tertuang dalam Undang- Undang  Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Tujuan dari pengenaan pajak karbon ini adalah sebagai upaya pemerintah untuk merespon isu lingkungan. Pajak karbon juga merupakan jenis pajak baru yang masuk dalam Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2022 sebagai Green Fiscal Policy Reform. Rencananya, pajak karbon ini akan mulai berlaku pada 1 April 2022. Pengenaan pajak karbon juga telah dilakukan oleh beberapa negara diantaranya Jepang, Singapura, Finlandia, dan Swiss. Dengan pemberlakuan pajak karbon ini, diharapkan akan menambah pemasukan pemerintah untuk mendukung pembangunan khususnya dalam penanangan perubahan iklim.

Pengenaan pajak karbon akan dilakukan terhadap orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau menghasilkan emisi karbon. Pajak karbon terutang atas pembelian yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Pada Bab VI pasal 13 ayat (7) UU HPP dijelaskan bahwa saat terutang pajak karbon ditentukan pada saat : a) pembelian barang yang mengandung karbon, b) akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan karbon dalam jumlah tertentu, atau c) saat lain yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, Bab VI pasal 13 ayat (9) UU HPP mengatur tarif pajak karbon yang ditetapkan paling rendah sebesar Rp 30,00 ( tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Di Indonesia, pengenaan pajak karbon dilakukan dengan skema cap and trade atau disebut juga skema perdagangan emisi. Berdasarkan skema ini, setiap perusahaan mendapatkan jatah emisi pelepasan karbon dengan jumlah tertentu.  Perusahaan yang mengeluarkan emisi karbon sampai dengan ambang batas (cap) yang ditetapkan oleh pemerintah tidak akan dikenakan pajak karbon. Sebaliknya, perusahaan yang mengeluarkan emisi melebihi ambang batas (cap) yang ditetapkan oleh pemerintah akan membeli jatah emisi karbon dari perusahaan yang mengeluarkan emisi karbon dibawah ambang batas yang sudah ditetapkan, dan atas kelebihan emisi tersebut maka dikenakan pajak karbon dengan tarif Rp 30 per  kilogram karbon dioksida ekuivalen. Sebagai informasi, berdasarkan Perpres No 98 Tahun 2021 nilai ambang batas atas emisi karbon sub sektor usaha dan/atau kegiatan disusun berdasarkan : 1) baseline emisi gas rumah kaca sektor, 2) target NDC nasional pada sektor, 3) hasil inventarisasi emisi gas rumah kaca, dan/atau 4) waktu pencapaian target. Sektor-sektor yang dikenakan pajak karbon diantaranya energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan dan sektor lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengenaan pajak karbon di Indonesia akan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Pada tahap pertama yang dimulai di tahun 2021, pemerintah mengembangkan mekanisme pengembangan pajak karbon dengan melakukan uji coba perdagangan di sektor pembangkit  listrik. Tahap kedua yang akan berlangsung pada tahun 2022 sampai dengan 2025, perdagangan emisi karbon akan dilanjutkan ke sektor PLTU batubara. Tahap ketiga yaitu setelah tahun 2025 akan diperluas ke semua sektor pemajakan  dan sektor lainnya yang menghasilkan emisi karbon.

168 PENGALAMAN
1342 KLIEN
840 DIKLAT
167 FASILITATOR
21025 PESERTA DIKLAT