ASAL MULA PPN DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akhir – akhir ini ramai menjadi perbincangan publik, terlebih lagi per tanggal 1 April 2022 lalu tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) meningkat dari semula 10% (sepuluh persen) menjadi 11% (sebelas persen). Kenaikan tarif PPN ini tentunya menuai berbagai respon dari masyarakat. Banyak masyarakat yang memahami bahwa kenaikan tarif PPN ini merupakan bentuk reformasi perpajakan pemerintah yang harus dipatuhi oleh seluruh wajib pajak. Namun, di sisi lain ada juga yang berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN ini justru akan menyebabkan kenaikan harga secara umum atau yang dikenal dengan istilah inflasi yang justru akan menyulitkan masyarakat khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Terlebih lagi beredar kabar bahwa pemerintah akan mengkaji ulang kenaikan tarif PPN mengingat kondisi ekonomi saat ini masih dalam ketidakpastian. Selain itu, kondisi harga pangan dan kebutuhan pokok saat ini juga masih tinggi. Namun sebelum lebih jauh memahami bagaimana dampak perubahan tarif PPN bagi pemerintah, masyarakat dan pihak terkait lainnya, ada baiknya jika kita mengenal awal mula PPN dan bagaimana perkembangannya di Indonesia melalui uraian berikut.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pungutan yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa kena pajak di wilayah Indonesia. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan jenis pajak tidak langsung dan termasuk dalam kategori pajak konsumsi. Pemungutan PPN dapat dikenakan pada wajib pajak orang pribadi maupun badan. Gagasan dasar mengenai PPN pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Wilhem von Siemens, seorang pengusaha di Jerman pada tahun 1920 – an yang menyadari bahwa terdapat masalah yang ditimbulkan dari penerapan pajak peredaran. Selain Dr. Wilhem von Siemens, konsep awal dari PPN juga dicetuskan oleh Thomas S. Adams pada tahun 1921 di Amerika Serikat. Konsep yang dijelaskan oleh Adams adalah mengenai cara untuk mengurangi pajak atas penjualan dengan pajak yang sebelumnya telah dibayarkan atas pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi efek mengalir (cascading effect). Konsep inilah yang sekarang dikenal dengan metode pengkreditan PPN masukan terhadap PPN keluaran. PPN pertama kali diterapkan di Perancis pada tahun 1948 dalam bentuk pengenaan pajak di tahap pabrikan. Kemudian pada tahun 1954, Perancis melanjutkan pengenaan pajak di seluruh tahapan produksi dan distribusi.
Banyak negara di Eropa memberlakukan PPN pada tahun 1960 – an dan 1970 –an. Sementara itu, negara berkembang mengikuti penerapan PPN pada tahun 1980-an dan sesudahnya. Negara Indonesia mulai menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 1983 setelah sebelumnya menggunakan sistem Pajak Penjualan (PPn) pada tahun 1951. Peralihan sistem ini didasari oleh penerapan pungutan sebelumnya yang tidak dapat memenuhi aktivitas masyarakat yang terus berkembang. Pajak Penjualan (PPn) sendiri dapat dikatakan sebagai cikal bakal PPN yang berlaku di Indonesia, karena bentuk pengutan sebelumnya masih menggunakan sistem pungutan kolonial Belanda. Pemberlakuan PPN di Indonesia ditandai dengan diterbitkannya Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau lebih dikenal dengan UU PPN.
Dalam perkembangannya, UU PPN telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan pertama melalui Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada 1 Januari 1995. Perubahan kedua dilakukan melalui pengesahan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku pada pada 1 Januari 2001. Selanjutnya, perubahan ketiga yaitu pada tahun 2009 melalui Undang Undang Nomor 42Tahun 2009 yang mulai berlaku pada 1 April 2010. Perubahan terakhir UU PPN dilakukan pada tahun 2021 yang termasuk dalam materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 (Undang – Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang mulai berlaku pada 29 Oktober 2021 khususnya berkaitan dengan kebijakan tarif.
Tarif PPN yang berlaku di Indonesia juga telah beberapa kali mengalami perubahan. Pada tahun 1950 an seiring dengan berlakunya sistem Pajak Penjualan (PPn), dikenakan tarif umum 10%. Kemudian pada tahun 1974, tarif PPn berubah menjadi tiga golongan. Golongan pertama yaitu 0% bagi jenis barang yang dibebaskan dari PPn. Golongan kedua yaitu 5% bagi jenis barang berupa karton, kertas pembungkus, kertas tulis, kertas cetak, karbon dan lain-lain. Golongan ketiga yaitu 10% bagi jenis barang yang tidak termasuk dalam kategori pertama dan kedua. Kemudian pada tahun 1983, sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1983 berlaku sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif 10%. Tarif 10% ini konsisten diterapkan hingga akhir Maret 2021 dan pada 1 April 2022 tarif PPN berubah menjadi 11% sesuai yang telah diatur dalam Undang – Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Artikel Lainnya
Menjadi sebuah lembaga swasta nasional yang terdep...
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) m...
Risiko kegiatan usaha semakin kompleks seiring den...
Auditor Internal sesuai dengan definisinya pada sa...
Demi mendorong perkembangan sumber daya yang unggu...